Minggu, 08 Januari 2012


Masalah Sosial dalam Masyarakat dan Solusinya

Masyarakat miskin Indonesia mencapai 13,33 persen atau sebanyak 31,02 juta orang, dari  jumlah penduduk Indonesia. Ini data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2010 lalu. Di akhir tahun 2010, jumlah kemiskinan tersebut tentunya tidak jauh berbeda pertambahan ataupun pengurangannya.
Ini berarti bahwa kemiskinan masih merupakan masalah besar bangsa yang sudah puluhan tahun merdeka ini. Bayangkan, dengan jumlah penduduk miskin sebesar itu, kita mencatatkan diri sebagai Negara yang orang miskinnya lebih banyak dari jumlah penduduk Negara tetangga Malaysia. Karena di waktu yang sama Malaysia berpenduduk 26,79 juta orng.
Ironi ini belum terjadi ketika di tahun 1975 dimana kemiskinan bukanlah topik bahasan utama di berbagai seminar dan surat-surat kabar. Baik masyarakat maupun pemerintah seperti tabu membahasnya. Pembangunan dianggap akan menghapuskan kemiskinan dengan sendirinya. Dan pakar ekonomi dengan analisis-analisisnya berdiri paling depan dalam barisan para pakar yang manganggap bahwa pertumbuhan ekonomi cukup mampu mengatasi segala masalah sosial ekonomi bangsa.
Selanjutnya ada beberapa dimensi dari akar kemiskinan tersebut. Isbandi Rukminto Adi, Phd menegaskan pula tentang akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan dan membaginya menjadi beberapa dimensi, di antaranya:
Pertama, dimensi Mikro : mentalitas materialistic dan ingin serba cepat (instan). Dua, dimensi Mezzo : melemahnya social trust (kepercayaan sosial) dalam suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu sendiri. Tiga, dimensi Makro : kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia. Empat, dimensi Global : adanya ketidakseimbangan relasi antara Negara yang sudah berkembang dengan Negara yang sedang berkembang.
Usaha kecil
Masalah lain yang kita hadapi adalah kondisi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang berpotensi menyerap tenaga kerja kurang terdidik, keberadaannya masih belum sepenuhnya mendapat perhatian serius. Berbeda dengan usaha besar yang padat modal dan teknologi, dengan mudahnya digelontori kredit perbankan dan berbagai kemudahan lainnya.
Sebagai gambaran, sepanjang 2010, sekitar 10-15 persen atau sekitar 790 ribu - 1,17 juta pelaku UMKM produksi di Jawa Barat menutup usahanya dan beralih menjadi pedagang produk impor asal Cina. Keuntungan yang lebih besar dan risiko yang lebih kecil menjadi alasan mereka beralih (Pikiran Rakyat, 22 Desember 2010).

Fakta ini menunjukkan bahwa serbuan barang impor, terutama asal China telah mematikan usaha bidang produksi. Di Jawa Barat saja mencapai sejuta UMKM, lalu bagaimana jika ditambah dari provinsi lainnya. Misalkan satu UMKM menampung lima tenaga kerja, maka jutaan orang akan kehilangan pekerjaan. Ini berarti jumlah penduduk miskin pun terus meningkat.

Baik pemerintah maupun pengamat ekonomi mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 bisa mencapai 6,2 persen. Namun hal itu sama sekali tidak berarti jika jumlah penduduk miskin tetap banyak. Bahkan jumlah penduduk miskin akan terpicu naiknya harga Sembako dan adanya rencana pemberlakuan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).  Misalnya ratusan ribu tukang ojek akan menjerit ketika BBM dibatasi, sebagian di antaranya kemudian akan menjadi penganggur. Daya beli masyarakat akan terpangkas besar-besaran, yang akhirnya akan mendongkrak jumlah penduduk miskin.

Kebijakan jalan pintas sering ditempuh pemerintah untuk sekedar “meredam berita” kemiskinan. Lantas, bagaimana solusi untuk mengendalikan pembengkakakan angka kemiskinan? Lebih tepatnya, bagaimana upaya mensejahterakan penduduk miskin, dan mencegah penduduk tidak miskin menjadi miskin. Instrumen yang ada pada pemerintah sebenarnya sudah memadai, ada Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Sosial yang perangkatnya sampai ke tingkat daerah. Begitu pula seluruh Pemerintah Daerah memiliki dinas/instansi yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.
Dalam hal ini pemerintah bisa bekerjasama dengan perusahaan besar yang memiliki  program corporate social responsibility (CSR) dan Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS) yang memiliki program pengabdian pada masyarakat (PPM). Namun yang selalu menjadi masalah adalah kemauan kuat dan muncul dari keinginan kuat untuk membantu rakyat miskin menjadi lebih sejahtera. Apa yang dilakukan belum bersumber dari hati, dan masih sekedar sebuah upaya menggugurkan kewajiban. Itulah sebabnya penduduk miskin yang menjadi sasaran program tetap miskin cenderung tidak terangkat dari kemiskinan.

Pemerintah mengelola dengan baik keuangan Negara. Karena, Negara kita telah dipenuhi dengan para tikus-tikus politik yang menguasai uang Negara. KIni cukup banyak even-even yang mensejahterakan masyarakat miskin. Dan Pemerintah perlu memberikan simulasi yang baik untuk rakyat miskin akan tetap dapat merasakan bahan pangan dan papan untuk kebutuhannya. Dari mulai beras khusus rakyat miskin, sembako dengan harga yang memadai untuk rakyat miskin, di bukanya lapangan-lapangan pekarjaan, lembaga pendidikan yang memadai, serta prasarana pemerintah yang dapat mempermudah akses kota ke desa atau sebaliknya.
Keadaan ini dapat memperbaiki angka kemiskinan dan kebodohan di Indonesia. Tak lupa untuk mengadili para koruptor yang dengan berbangga hati mencuri uang milik rakyat.