Kamis, 29 November 2012

Cerpen Ncha




Surat Merah Muda

            Hari yang saat itu sangat sepi. Entah karena memang tidak ada manusia yang berlalu lalang, atau karena hatiku yang memang sedang sepi. Aku tetap duduk terdiam di bawah pohon rindang rumahku yang menutupi panas terik matahari. “Woi, bengong aja!” suara Shou membuyarkan susasana. “Ih, buat gue kaget aja lo. Ada apaan sih? Dateng-dateng buat rusuh.” jawabku dengan rasa gemas. “Jiaah, lagi sensi mba? Hahaha. Gue pengen ketemu lo aja, abis gue bosen di rumah. Lo juga, ngapain bengong di sini? Kesurupan baru tau rasa lo!”. “Ah, ngaco lo. Nggak ada setan siang bolong gini!” balasku sambil mencubit lengan tangannya yang berkeringat. 

          Hari ini memang sangat panas.  Tetapi entah mengapa sahabat keciku yang satu ini terlihat sangat pucat dan berkeringat. Aku berfikir, seharusnya aku bertanya, mengapa dia terlihat begitu berbeda. “Shou, lo sakit?” tanyaku dengan nada heran dan sedikit mengerutkan dahiku. “Hmmm. Nggak kok lo nanya gitu? Emang kenapa sama gue?” jawab Shou dengan nada yang bisa di bilang tidak meyakinkan.

          “Muka lo pucet banget tau. Lo nggak sakit kan? Akhir-akhir ini lo mulai bolong-bolong masuk sekolah. Ada apa sih Shou?” aku mulai memelankan suaraku untuk meyakinkan dia agar mau menjawab keherananku dengan jujur. “Gue nggak kenapa-napa kok Lun. Gue kecapean aja mungkin. Tadi kan gue abis bantu bokap benerin mobil.” Jawab Shou. Dia memang menjawab pertanyaanku. Tapi, dia tidak menjawab rasa penasaranku atas keanehan padanya.

***

          Tugasku belum selesai. Masih terdengar suara ketikan keyboard dari laptop kesayanganku. Derrrreet,Dreeeet! . “Ih, kaget gue!”. “Dari Shou? Tumben.”  Dengan sigap ku angkat hendphone ku yang bergetar “Halo Assalamualaikum, kenapa Shou?” “Lo ke depan rumah deh” jawab Shou dengan dada cepat. “Ngapain sih?”. Dengan segera aku menghampiri balkon kamarku. “Buruan turun! Ikut gue yuk!” teriak Shou dari depan rumahku. Akupun segera berganti pakaian dan menghampirinya di ruang tamu. “Mau kemana sih?” tanyaku heran. “Udah ikut aja”.

***

          Sudah dua jam di perjalanan. Aku masih tidak tau kemana dia akan membawaku pergi. Shou mulai menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia berjalan ke arah perkebunan teh yang hijau. Akupun mengikutinya berjalan. Tak lama kamudian ia berhenti. “Lun, tutup deh mata lo!”. “Heh, mau ngapain lo! Jangan macem-macem!” jawabku dengan nada penuh khawatir. “Ih, apa untungnya gue macem-macemin lo? Udah buruan.” 

          Sudah sampai angka 30 aku menghitung di dalam hati. Shou masih menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan. Saat hitungan ke 35, “Lun, buka deh mata lo!” Suara Shou terdengar mengagetkan. Aku mulai membuka mataku perlahan. “Aduh, silau banget!” kataku sambil menghalangi cahaya dengan tanganku. Saat aku dapat melihat dengan jelas. “Ya Tuhan, ini mimpi? Cantik sekali!”. Ada rumah pohon di depan mataku. Berbagai macam bunga warna-warni mengelilingi pohon rindang itu. Rumah kecil yang terdapat di atasnya begitu indah. Puluhan kertas warna-warni tergantung di setiap ranting pohon yang tumbuh. Shou tau ini yang menjadi keinginanku saat aku kecil. Sungguh indah. Seperti mimpiku 15 tahun yang lalu.

          “Ya ampun Shou, cantik benget! Kapan lo buat ini semua?” tanyaku dengan rasa takjub. “Udah lama Lun, gue tau lo emang ke pengen banget punya rumah pohon kayak gini.” Jelasnya dengan wajah yang berseri. “Gue ada acara nih Lun, gue tinggal nggak apa-apa kan?” “Oh, nggak apa-apa nanti supir gue bisa jemput gue kok.” “Oke!” sahut Shou dan mulai menjauh meninggalkan aku dan rumah pohon.

          Aku berjalan mendekati rumah pohon itu. Sungguh seperti mimpi. Udara yang sejuk, bunga-bunga yang tumbuh dengan indah, dan rumah yang sangat nyaman. Aku mulai naik ke atas rumah pohon itu. Ada banyak kertas warna-warni yang didikat dengan tali pada ranting pohon. Aku ambil salah satu kertas yang berwarna merah muda. 

“Jangan nangis lagi ya Lun, nanti kalo uang jajanku udah banyak, aku beliin lolipop yang banyak di warung deh!.”

 

          Mataku membelalak. Ingatanku kembali pada 15 tahun lalu. Saat aku menangis karena permen lolipopku di rampas oleh kakak sesepupuku yang nakal. Apa yang sebenarnya terjadi pada Shou?. Mengapa ia begitu baik?. Dia memang selalu terlihat aneh. 

***

           Hari ini kampus terasa seperti pasar malam. Terlalu berisik. Sampai-sampai aku tidak mendengar dengan jelas suara Rahma yang mengoceh sedari tadi. Rahma teman sekelasku yang terbilang berprestasi. Terutama berprestasi dalam bidang berpidato. Ya, berpidato soal cowoknya yang gak jelas itu. Cowok yang jelas-jelas hanya memanfaatkannya. Tetapi, dia masih kebal saja atas perlakuan semena-mena cowoknya itu.

             Tak lama, Tetsu muncul. Menyapa sekaligus memberi kesegaran pada hari yang gersang. Tetsu adalah pria terbaik dalam hidupku saat ini. Tampan, baik, sholeh, dan tentunya pintar. Aku dan Tetsu sudah berpacaran selama 4 tahun. Kemungkinan tahun depan dia berencana melamarku. Sungguh hari yang aku nanti-nanti.

          “Kamu pulang jam berapa?” tanya Tetsu yang duduk di sampingku. “Aku? Hmmm. Mungkin jam 3 sore.” Jawabku “Aku jemput ya.” Tanya Tetsu menawarkan tumpangan padaku. Ia tahu bahwa aku sangat benci naik kendaraan umum saat jadwal para pekerja kembali pulang ke rumah. Macet. “ Oke! Aku tunggu di depan kelas ya?” “ Sip!” jawab Tetsu.

           “Lun, lo seneng ya punya orang-orang yang lo sayang?” tanya Rahma padaku. “Hmmmh. Kalo lo seneng gak punya temen kayak gue yang sayang sama lo?” tanyaku lagi. “Ia,lah!” jawab Rahma “Kalo gitu, jawaban gue sama kayak lo” jawabku tegas sambil tersenyum.

***

          Saat ini aku sedang di rumah Shou. Sepertinya ada yang ingin dia bicarakan. Dia mengajakku ke rumah pohon bersamanya. Ternyata di sana dia telah menyiapkan makanan kesukaanku. Kita memakannya bersama, membuat keinginan di kertas warna-warni lalu di gantung pada ranting pohon, tertawa terbahak-bahak, mendengarkan lagu-lagu Jepang kesukaanku dan Shou. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Perjalanan pulang pun terasa sunyi. Mungkin karena kami sama-sama kelelahan.

            “Lun, lo nggak tidur kan?” tanya Shou yang memecah kesunyian saat itu. “Nggak, kenapa?”. “Lo kapan jadi nikah sama Tetsu?” “Sepertinya di percepat Shou, mungkin 5 bulan lagi.” “Oh gitu. Hmmmm, gue mau pamit Lun, gue mau pindah ke Osaka. Gue mau kuliah di sana. Berangkatnya besok pagi Lun.” 

           Jantungku seakan terhenti. Ternyata pertanyaanku terjawab. Ini yang ingin ia bicarakan. Aku mencoba untuk tenang. “Kenapa mendadak?” tanyaku perlahan. “Gue baru dapet kabar kemarin.” “Lo mau ninggalin gue?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi. “Gue mau lo mengerti Lun. Gue nggak akan ninggalin lo kok.” Aku mulai memendam air mata yang memaksa untuk mengalir. Ternyata aku tak sanggup menahan air mata yang keluar deras. 

         Aku segara mesuk ke dalam rumah. Menutup pintu kamarku dan menangis sangat sedu sedan. 15 tahun kita bersama. Mengapa dengan mudah ia pergi?. Saat mata yang menangis telah lelah, aku tertidur dengan kesedihan. Berharap esok akan lebih baik.

***

           5 bulan kemudian. 

          Hari ini adalah hari yang istimewa. Gaun yang begitu indah ini akhirnya dapat aku kenakan. Pernikahan adalah hal paling istimewa yang di rasakan setiap orang. Termasuk aku. Aku berdiri di depan kaca. Dan begitu bahagia melihat gaun yang aku kenakan. Rahma masuk dan berdiri di sampingku sambil tersenyum. “Lo bahagia banget hari ini Lun?” .”Ia lah ma, akhirnya gue nikah juga! Hehehehe” jawabku bahagia. “Syukur deh kelo gitu. Oia gue punya sesuatu buat lo. Lo ikut gue ya?” bujuk Rahma. “Kemana? Lo nggak ngajak gue kabur kan?” “Nggak lah.” 

         Rahma mengajakku ke rumah pohon yang letaknya tidak jauh dari tempat resepsi pernikahan. “Di antara kertas-kertas itu ada yang warnanya merah muda, lo ambil yang talinya warna biru. Terus lo baca ya, tapi lo harus janji, lo nggak boleh sedih. Ini kan hari istimewa lo.”  Aku menaiki rumah pohon itu dengan agak kesulitan karena gaunku yang aku kenakan. Sesampainya di atas, aku menemukan gulungan kertas yang di gantung berwarna merah muda. Aku mulai membacanya

To: Lunafa Arisya

Hari ini pasti hari yang kamu tunggu-tunggu. Hari yang begitu indah dan hari yang begitu bahagia. Saat ini aku pasti lagi melihat kamu dari tempat yang jauh. Maafin aku ya, nggak bisa hadir di hari pernikahan kamu. Aku bahagia lihat kamu bahagia. Sebenarnya, selama 15 tahun aku selalu menaruh persaan yang tidak pernah berubah sama kamu. Senyum dan tawa kamu selalu buat aku semangat untuk melawan sakit yang bersarang di tubuhku bertahun-tahun. Aku memang pergi. Pergi membawa nama kamu di hati aku. Tetapi, aku nggak pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu di samping kamu sampai kapanpun. Tetap tersenyum dan bahagia. Aku kan selalu menyayangi kamu sampai kapanpun.

                                                                   By : Shou Ogawa

          “Lun, lo nggak kenapa-napa kan?” tanya Rahma. Aku masih terdiam terpaku. Air mata yang deras mengalir tanpa terhenti. Aku masih berada di dalam lamunan. “Kemarin mama Shou nyuruh gue ke rumah. Mamanya ngejelasin semuanya ke gue. Waktu Shou pamit mau ke Osaka, dia sebenernya mau ngjalanin kemoterapi di Rumah Sakit. Dia nggak mau liat lo sedih Lun, dia mau liat lo bahagia. Mamanya ngomong, selama ini dia tuh sayang banget sama lo. Tapi, dia juga bahagia liat lo bahagia sama Tetsu. Shou meninggal 2 bulan setelah dia pamit pergi sama lo. Sebelum itu, dia sempat menulis surat ini buat lo. Dia minta lo buat baca surat ini kalo lo udah nemuin orang yang tepat buat pendamping hidup lo.” Jelas Rahma sambil mengeluskan tangannya di pundakku. 

          Aku tahu Shou bahagia melihatku bahagia, tetapi apakah aku pernah membuatnya bahagia? Sedangkan dia selalu membuatku bahagia? Aku masih berdiri terpaku. Kakiku mulai bergetar. Bukan karena sedih, tetapi karena menyesal tidak pernah menyadari keanehan yang terjadi adalah rasa sayang yang terpendam. Aku merasa sangat bodoh. Air mataku terus mengalir tanpa kendali. Rahma menghapus airmata di pipiku. Dan mencoba menenangkanku. “Lun, Shou akan sedih kalo lo sedih. Sekarang dia udah bahagia. Ini kan hari istimewa lo. Jadi lo harus seneng.”

          Aku dan Rahma berjalan menuju tempat resepsi. Acarapun berjalan hikmat. Salah bila Shou pergi, karena jiwanya masih tersimpan di sini. Di hatiku. Trima kasih Shou. Terima kasih karena cintamu kini aku bahagia. 

 

By : Firda Huurunnisa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar