Cerpen Ncha
Surat Merah Muda
Hari yang saat itu sangat sepi. Entah karena memang tidak
ada manusia yang berlalu lalang, atau karena hatiku yang memang sedang sepi.
Aku tetap duduk terdiam di bawah pohon rindang rumahku yang menutupi panas
terik matahari. “Woi, bengong aja!” suara Shou membuyarkan susasana. “Ih, buat
gue kaget aja lo. Ada apaan sih? Dateng-dateng buat rusuh.” jawabku dengan rasa
gemas. “Jiaah, lagi sensi mba? Hahaha. Gue pengen ketemu lo aja, abis gue bosen
di rumah. Lo juga, ngapain bengong di sini? Kesurupan baru tau rasa lo!”. “Ah,
ngaco lo. Nggak ada setan siang bolong gini!” balasku sambil mencubit lengan
tangannya yang berkeringat.
Hari ini memang sangat panas. Tetapi entah mengapa sahabat keciku yang satu
ini terlihat sangat pucat dan berkeringat. Aku berfikir, seharusnya aku
bertanya, mengapa dia terlihat begitu berbeda. “Shou, lo sakit?” tanyaku dengan
nada heran dan sedikit mengerutkan dahiku. “Hmmm. Nggak kok lo nanya gitu?
Emang kenapa sama gue?” jawab Shou dengan nada yang bisa di bilang tidak
meyakinkan.
“Muka lo pucet banget tau. Lo nggak sakit kan? Akhir-akhir
ini lo mulai bolong-bolong masuk sekolah. Ada apa sih Shou?” aku mulai
memelankan suaraku untuk meyakinkan dia agar mau menjawab keherananku dengan
jujur. “Gue nggak kenapa-napa kok Lun. Gue kecapean aja mungkin. Tadi kan gue
abis bantu bokap benerin mobil.” Jawab Shou. Dia memang menjawab pertanyaanku.
Tapi, dia tidak menjawab rasa penasaranku atas keanehan padanya.
***
Tugasku belum
selesai. Masih terdengar suara ketikan keyboard
dari laptop kesayanganku. Derrrreet,Dreeeet! . “Ih, kaget gue!”.
“Dari Shou? Tumben.” Dengan sigap ku
angkat hendphone ku yang bergetar “Halo
Assalamualaikum, kenapa Shou?” “Lo ke depan rumah deh” jawab Shou dengan dada
cepat. “Ngapain sih?”. Dengan segera aku menghampiri balkon kamarku. “Buruan
turun! Ikut gue yuk!” teriak Shou dari depan rumahku. Akupun segera berganti
pakaian dan menghampirinya di ruang tamu. “Mau kemana sih?” tanyaku heran.
“Udah ikut aja”.
***
Sudah dua jam di perjalanan. Aku masih tidak tau kemana dia
akan membawaku pergi. Shou mulai menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia
berjalan ke arah perkebunan teh yang hijau. Akupun mengikutinya berjalan. Tak
lama kamudian ia berhenti. “Lun, tutup deh mata lo!”. “Heh, mau ngapain lo!
Jangan macem-macem!” jawabku dengan nada penuh khawatir. “Ih, apa untungnya gue
macem-macemin lo? Udah buruan.”
Sudah sampai angka 30 aku menghitung di dalam hati. Shou
masih menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan. Saat hitungan ke 35, “Lun,
buka deh mata lo!” Suara Shou terdengar mengagetkan. Aku mulai membuka mataku
perlahan. “Aduh, silau banget!” kataku sambil menghalangi cahaya dengan
tanganku. Saat aku dapat melihat dengan jelas. “Ya Tuhan, ini mimpi? Cantik
sekali!”. Ada rumah pohon di depan mataku. Berbagai macam bunga warna-warni
mengelilingi pohon rindang itu. Rumah kecil yang terdapat di atasnya begitu
indah. Puluhan kertas warna-warni tergantung di setiap ranting pohon yang
tumbuh. Shou tau ini yang menjadi keinginanku saat aku kecil. Sungguh indah.
Seperti mimpiku 15 tahun yang lalu.
“Ya ampun Shou, cantik benget! Kapan lo buat ini semua?”
tanyaku dengan rasa takjub. “Udah lama Lun, gue tau lo emang ke pengen banget
punya rumah pohon kayak gini.” Jelasnya dengan wajah yang berseri. “Gue ada
acara nih Lun, gue tinggal nggak apa-apa kan?” “Oh, nggak apa-apa nanti supir
gue bisa jemput gue kok.” “Oke!” sahut Shou dan mulai menjauh meninggalkan aku
dan rumah pohon.
Aku berjalan mendekati rumah pohon itu. Sungguh seperti
mimpi. Udara yang sejuk, bunga-bunga yang tumbuh dengan indah, dan rumah yang
sangat nyaman. Aku mulai naik ke atas rumah pohon itu. Ada banyak kertas
warna-warni yang didikat dengan tali pada ranting pohon. Aku ambil salah satu
kertas yang berwarna merah muda.
“Jangan nangis lagi ya Lun, nanti kalo
uang jajanku udah banyak, aku beliin lolipop yang banyak di warung deh!.”
Mataku membelalak. Ingatanku kembali pada 15 tahun lalu.
Saat aku menangis karena permen lolipopku di rampas oleh kakak sesepupuku yang
nakal. Apa yang sebenarnya terjadi pada Shou?. Mengapa ia begitu baik?. Dia
memang selalu terlihat aneh.
***
Hari ini
kampus terasa seperti pasar malam. Terlalu berisik. Sampai-sampai aku tidak
mendengar dengan jelas suara Rahma yang mengoceh sedari tadi. Rahma teman sekelasku
yang terbilang berprestasi. Terutama berprestasi dalam bidang berpidato. Ya,
berpidato soal cowoknya yang gak jelas itu. Cowok yang jelas-jelas hanya
memanfaatkannya. Tetapi, dia masih kebal saja atas perlakuan semena-mena
cowoknya itu.
Tak lama, Tetsu muncul. Menyapa sekaligus memberi kesegaran
pada hari yang gersang. Tetsu adalah pria terbaik dalam hidupku saat ini.
Tampan, baik, sholeh, dan tentunya pintar. Aku dan Tetsu sudah berpacaran
selama 4 tahun. Kemungkinan tahun depan dia berencana melamarku. Sungguh hari
yang aku nanti-nanti.
“Kamu pulang jam berapa?” tanya Tetsu yang duduk di
sampingku. “Aku? Hmmm. Mungkin jam 3 sore.” Jawabku “Aku jemput ya.” Tanya
Tetsu menawarkan tumpangan padaku. Ia tahu bahwa aku sangat benci naik
kendaraan umum saat jadwal para pekerja kembali pulang ke rumah. Macet. “ Oke!
Aku tunggu di depan kelas ya?” “ Sip!” jawab Tetsu.
“Lun, lo seneng ya punya orang-orang yang lo sayang?” tanya
Rahma padaku. “Hmmmh. Kalo lo seneng gak punya temen kayak gue yang sayang sama
lo?” tanyaku lagi. “Ia,lah!” jawab Rahma “Kalo gitu, jawaban gue sama kayak lo”
jawabku tegas sambil tersenyum.
***
Saat ini aku sedang di rumah Shou. Sepertinya ada yang ingin
dia bicarakan. Dia mengajakku ke rumah pohon bersamanya. Ternyata di sana dia
telah menyiapkan makanan kesukaanku. Kita memakannya bersama, membuat keinginan
di kertas warna-warni lalu di gantung pada ranting pohon, tertawa terbahak-bahak,
mendengarkan lagu-lagu Jepang kesukaanku dan Shou. Jam sudah menunjukan pukul 5
sore. Perjalanan pulang pun terasa sunyi. Mungkin karena kami sama-sama
kelelahan.
“Lun, lo nggak tidur kan?” tanya Shou yang memecah kesunyian
saat itu. “Nggak, kenapa?”. “Lo kapan jadi nikah sama Tetsu?” “Sepertinya di
percepat Shou, mungkin 5 bulan lagi.” “Oh gitu. Hmmmm, gue mau pamit Lun, gue
mau pindah ke Osaka. Gue mau kuliah di sana. Berangkatnya besok pagi Lun.”
Jantungku seakan terhenti. Ternyata pertanyaanku terjawab.
Ini yang ingin ia bicarakan. Aku mencoba untuk tenang. “Kenapa mendadak?”
tanyaku perlahan. “Gue baru dapet kabar kemarin.” “Lo mau ninggalin gue?”
tanyaku dengan nada sedikit tinggi. “Gue mau lo mengerti Lun. Gue nggak akan
ninggalin lo kok.” Aku mulai memendam air mata yang memaksa untuk mengalir.
Ternyata aku tak sanggup menahan air mata yang keluar deras.
Aku segara mesuk ke dalam rumah. Menutup pintu kamarku dan
menangis sangat sedu sedan. 15 tahun kita bersama. Mengapa dengan mudah ia
pergi?. Saat mata yang menangis telah lelah, aku tertidur dengan kesedihan.
Berharap esok akan lebih baik.
***
5 bulan
kemudian.
Hari ini adalah hari yang istimewa. Gaun yang begitu indah
ini akhirnya dapat aku kenakan. Pernikahan adalah hal paling istimewa yang di
rasakan setiap orang. Termasuk aku. Aku berdiri di depan kaca. Dan begitu
bahagia melihat gaun yang aku kenakan. Rahma masuk dan berdiri di sampingku
sambil tersenyum. “Lo bahagia banget hari ini Lun?” .”Ia lah ma, akhirnya gue
nikah juga! Hehehehe” jawabku bahagia. “Syukur deh kelo gitu. Oia gue punya
sesuatu buat lo. Lo ikut gue ya?” bujuk Rahma. “Kemana? Lo nggak ngajak gue
kabur kan?” “Nggak lah.”
Rahma mengajakku ke rumah pohon yang letaknya tidak jauh
dari tempat resepsi pernikahan. “Di antara kertas-kertas itu ada yang warnanya merah
muda, lo ambil yang talinya warna biru. Terus lo baca ya, tapi lo harus janji,
lo nggak boleh sedih. Ini kan hari istimewa lo.” Aku menaiki rumah pohon itu dengan agak
kesulitan karena gaunku yang aku kenakan. Sesampainya di atas, aku menemukan
gulungan kertas yang di gantung berwarna merah muda. Aku mulai membacanya
To: Lunafa Arisya
Hari ini pasti hari yang kamu tunggu-tunggu. Hari yang begitu indah dan
hari yang begitu bahagia. Saat ini aku pasti lagi melihat kamu dari tempat yang
jauh. Maafin aku ya, nggak bisa hadir di hari pernikahan kamu. Aku bahagia
lihat kamu bahagia. Sebenarnya, selama 15 tahun aku selalu menaruh persaan yang
tidak pernah berubah sama kamu. Senyum dan tawa kamu selalu buat aku semangat
untuk melawan sakit yang bersarang di tubuhku bertahun-tahun. Aku memang pergi.
Pergi membawa nama kamu di hati aku. Tetapi, aku nggak pernah ninggalin kamu.
Aku akan selalu di samping kamu sampai kapanpun. Tetap tersenyum dan bahagia.
Aku kan selalu menyayangi kamu sampai kapanpun.
By : Shou Ogawa
“Lun, lo nggak kenapa-napa kan?” tanya Rahma. Aku masih
terdiam terpaku. Air mata yang deras mengalir tanpa terhenti. Aku masih berada
di dalam lamunan. “Kemarin mama Shou nyuruh gue ke rumah. Mamanya ngejelasin
semuanya ke gue. Waktu Shou pamit mau ke Osaka, dia sebenernya mau ngjalanin
kemoterapi di Rumah Sakit. Dia nggak mau liat lo sedih Lun, dia mau liat lo
bahagia. Mamanya ngomong, selama ini dia tuh sayang banget sama lo. Tapi, dia
juga bahagia liat lo bahagia sama Tetsu. Shou meninggal 2 bulan setelah dia
pamit pergi sama lo. Sebelum itu, dia sempat menulis surat ini buat lo. Dia
minta lo buat baca surat ini kalo lo udah nemuin orang yang tepat buat
pendamping hidup lo.” Jelas Rahma sambil mengeluskan tangannya di pundakku.
Aku tahu Shou bahagia melihatku bahagia, tetapi apakah aku
pernah membuatnya bahagia? Sedangkan dia selalu membuatku bahagia? Aku masih
berdiri terpaku. Kakiku mulai bergetar. Bukan karena sedih, tetapi karena menyesal
tidak pernah menyadari keanehan yang terjadi adalah rasa sayang yang terpendam.
Aku merasa sangat bodoh. Air mataku terus mengalir tanpa kendali. Rahma
menghapus airmata di pipiku. Dan mencoba menenangkanku. “Lun, Shou akan sedih
kalo lo sedih. Sekarang dia udah bahagia. Ini kan hari istimewa lo. Jadi lo
harus seneng.”
Aku dan Rahma berjalan menuju tempat resepsi. Acarapun
berjalan hikmat. Salah bila Shou pergi, karena jiwanya masih tersimpan di sini.
Di hatiku. Trima kasih Shou. Terima kasih karena cintamu kini aku bahagia.
By : Firda Huurunnisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar